Sebenarnya beberapa bagian dari cerita ini saya tulis di bandara beberapa saat sebelum penerbanganku ke Surabaya. Tapi karena dibandara nggak ada HotSpot (Padahal katanya Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar, tapi kok HotSpot aja nggak ada) jadi ya terpaksa baru bisa di upload sekarang. Itupun saya menulis cerita ini harus sedikit sembunyi2 soalnya malu juga klo lagi nulis cerita bodoh kok ada yang liatin (tapi klo malu kenapa di tulis di blog??). Oh iya sebenarnya sih males juga untuk menulis di bandara mengingat selain ada yang ngintip aku juga merasa kalau bandara itu sangat-sangat membuatku tidak nyaman, ya… seperti tempat keramat gitu. Tapi daripada iseng nggak jelas so… saya akan meneruskan tulisan bodoh ini. Sebentar, nulisnya pindah pake hape saja, benar2 tidak nyaman pake laptop…
Pulang kampung, yah memang belum begitu lama sejak terakhir kali aku pulang kampung. Tapi mumpung lagi ada libur lagi yang nggak begitu lama dan cuti bersama jadi ya bisa sejenak menginjakkan kaki di tanah jawa lagi. Ng.. sebenernya sih boros juga kalo tiap kali ada libur kok pulang kampung . Tapi mau bagaimana lagi, aku pulang kampung ini juga soalnya ada masalah yang harus aku selesaikan. Masalah yang seharusnya sudah aku selesaikan saat aku pulang kampung beberapa waktu lalu yang ternyata belum bisa aku selesaikan waktu itu.
Sama seperti edisi pulang kampung sebelumnya, untuk edisi kali ini saya juga naik pesawat untuk armada pulang kampung saya. Walaupun jauh lebih mahal tapi itu lebih baik, bila dibandingkan jika saya harus naik kapal laut. Ngomong2 soal pesawat, jika dihitung2 mulai dari lahir sampai dengan post ini ditulis ternyata aku sudah lebih dari lima kali menggunakan pesawat sebagai alat transportasi saya. Yah percaya atau tidak mungkin ini adalah kesalahan saya sendiri yang salah dalam berdoa. Iya sepertinya itu penyebabnya…
Aku ingat dulu ketika aku masih kecil sekitar umur2 kelas tiga SD, selepas sholat Jum’at (aku ingat betul hari itu hari Jum’at), dan saat panas sangat terik (ini hanya untuk mendramatisir keadaan) aku ingin sekali es cendol (ini sepertinya keluar dari alur cerita). Hha… yang pasti waktu itu saat aku kira2 kelas tiga SD dan selepas Sholat Jum’at aku pernah ngobrol dengan tetanggaku, yah anak2 seumuranku waktu itu. Kebetulan siang itu kami mengobrolkan transportasi apa yang paling hebat yang pernah kami naiki. Aku ingat satu persatu dari kami bercerita, ada yang pernah naik bis AC dari Jakarta ke Semarang (waktu saya masih umur segitu Bis Patas AC bisa dibilang barang yang mewah), ada yang pernah naik kapal Feri ke Bali ada yang naik mobil ke Surabaya dll. Akan tetapi perlu diingat disini, ini semua diceritakan oleh anak2 usia SD dimana pada umur segitu semua hal yang diceritakan 70%nya adalah hiperbola. Begitupun denganku awalnya aku cuma ikut2an saja tiap kali ada yang bercerita. Ng… ikut2annya tu kira2 seperti ini:
Si X : ”Aku mbiyen tau numpak bis AC neng Blitar” (Aku dulu pernah naik bis yang berAC ke Blitar)
Saya : “Ah… aku mbok tau numpak bis AC neng Jogja” (Ah… Aku juga pernah naik bis yang berAC ke Jogja)
Dan tentu saja biasanya percakapan ini diperkuat dengan statement yang jauh lebih menguatkan atau terkadang menjatuhkan seperti misalnya:
Si X : ”Aku mbiyen tau numpak bis AC neng Blitar” (Aku dulu pernah naik bis yang berAC ke Blitar)
Saya : “Ah… aku mbok tau numpak bis neng AC neng Jogja” (Ah… Aku juga pernah naik bis yang berAC ke Jogja)
Si X : “Mosok?? Enak yo adem g sumuk” (Mosok?? Enak ya, adem nggak sumuk)
Saya : “Iyo, ono WCne barang” (Iya ada WCnya juga (padahal nggak ada bis jurusan jogja semarang yang ada WCnya di dalam bis))
Si X : “Iyo”
Saya : “Wes ngono kursine apik, iso nggo turunan” (Suda gitu kursinya bagus, bisa dibuat tidur (maksudnya direbahkan))
Si X : “Iyo”
Lainnya : “Aku mbok tau” (Saya juga pernah)
Nah disini sangat terlihat siapa yang bohong siapa, dan siapa yang bohong plus hiperbola. Percakapan itu tentusaja masih berlanjut dengan penuh kebohongan dan intrik. Hingga pada saat titik paling akut aku mengeluarkan senjata pamngkasku, dan saya berkata, “Koe ndak wes do pernah numpak sepur neng Jakarta??” (kamu / kalian sudah ada yang pernah naik kereta ke Jakarta??). Obrolan itupun hening dan saya tentu saja melanjutkan cerita yang tentusaja saya tambah2i seperti kereta itu cepat, nyaman, adem, dan hal2 lain yang sangat hiperbolis yang sebenarnya itu semua adalah fiktif. Kecuali bagian nyaman dan cepat (kereta kelas bisnis waktu itu sangat nyaman tidak seperti sekarang).
Yup kereta, itulah senjata pamungkasku waktu itu. Sebab jujur sebelum obrolan itu aku mulai aku sudah mengumpulkan informasi (sepertinya bakat alami saya), dan menanyai beberapa temanku (tentu saja aku menanyainya satu2, di tempat berbeda, dan waktu berbeda) tentang naik kereta dan ternyata mereka belum ada satupun yang pernah naik kereta . Selain itu aku sadar kalau kereta merupakan alat transportasi paling elit di antara kami (padahal sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang orang dewasa, itu semua tidak benar. Kereta hanyalah sebuah alat transportasi masal), dan untungnya hanya aku yang sudah pernah dan sering sekali naik kereta PP Semarang - Jakarta. Di sini jelas terlihat posisi tawarku (apa ini??) jauh lebih tinggi. Akan tetapi, itu semua runtuh dengan tiba2 saat salah satu diantara kami berkata, “Tapi kan koe ora tau numpak pesawat?? Aku mbiyen pas kelas 2 tau numpak pesawat neng jakarta” (tapi kan kamu nggak pernah naik pesawat?? Aku dulu waktu kelas 2 pernah naik pesawat menuju jakarta). saat itu tiba2 saja posisi tawarku menjadi sangat rendah. Lenyap sudah… Setelah itu, pembicaraan mulai berganti topik dan tentu saja aku sudah menghilang sebelum topik itu berganti.
Entah apa yang aku pikirkan, tiba2 saja aku waktu itu teringat akan pesan guru agamaku yang mengatakan bahwa “Salah satu waktu paling mustajab untuk berdoa adalah pada hari jum’at”. So… tanpa pikir panjang aku langsung lari ke dalam rumah menggelar sajadah, duduk bersila, dan aku langsung berdoa yang isinya kira2 “Ya Alloh moga-moga suatu saat nanti aku bisa naik pesawat, sekali saja Ya Alloh…, Amin”. Ya sekali saja, hanya sekali cukup…!!! Tidak lebih. Oh iya tepat setelah itu aku ingat almarhumah nenek saya masuk ke kamar trus beliau berkata “Wong solat di mesjid kok doanya dirumah”.
Hari berganti hari, perlahan aku mulai melupakan kejadian hari ini. Hingga malam ini aku kembali tersadar adakah yang salah dengan diriku?? hingga aku harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, tiap saat aku ingin menyambung tali silaturahmi. Merenung kembali, aku yang dulunya nggak pernah naik pesawat tiba2 saja belakangan ini jadi sering banget naik pesawat. Adakah yang salah dengan doaku?? Dan tiba2 saja aku teringat kisah bodoh ini. Tapi mungkin karena Alloh terlalu baik kepada Alannusa kecil sehingga dia mengabulkan doaku itu… bukan hanya sekali, tapi beberapa kali.
Pulang kampung, yah memang belum begitu lama sejak terakhir kali aku pulang kampung. Tapi mumpung lagi ada libur lagi yang nggak begitu lama dan cuti bersama jadi ya bisa sejenak menginjakkan kaki di tanah jawa lagi. Ng.. sebenernya sih boros juga kalo tiap kali ada libur kok pulang kampung . Tapi mau bagaimana lagi, aku pulang kampung ini juga soalnya ada masalah yang harus aku selesaikan. Masalah yang seharusnya sudah aku selesaikan saat aku pulang kampung beberapa waktu lalu yang ternyata belum bisa aku selesaikan waktu itu.
Sama seperti edisi pulang kampung sebelumnya, untuk edisi kali ini saya juga naik pesawat untuk armada pulang kampung saya. Walaupun jauh lebih mahal tapi itu lebih baik, bila dibandingkan jika saya harus naik kapal laut. Ngomong2 soal pesawat, jika dihitung2 mulai dari lahir sampai dengan post ini ditulis ternyata aku sudah lebih dari lima kali menggunakan pesawat sebagai alat transportasi saya. Yah percaya atau tidak mungkin ini adalah kesalahan saya sendiri yang salah dalam berdoa. Iya sepertinya itu penyebabnya…
Aku ingat dulu ketika aku masih kecil sekitar umur2 kelas tiga SD, selepas sholat Jum’at (aku ingat betul hari itu hari Jum’at), dan saat panas sangat terik (ini hanya untuk mendramatisir keadaan) aku ingin sekali es cendol (ini sepertinya keluar dari alur cerita). Hha… yang pasti waktu itu saat aku kira2 kelas tiga SD dan selepas Sholat Jum’at aku pernah ngobrol dengan tetanggaku, yah anak2 seumuranku waktu itu. Kebetulan siang itu kami mengobrolkan transportasi apa yang paling hebat yang pernah kami naiki. Aku ingat satu persatu dari kami bercerita, ada yang pernah naik bis AC dari Jakarta ke Semarang (waktu saya masih umur segitu Bis Patas AC bisa dibilang barang yang mewah), ada yang pernah naik kapal Feri ke Bali ada yang naik mobil ke Surabaya dll. Akan tetapi perlu diingat disini, ini semua diceritakan oleh anak2 usia SD dimana pada umur segitu semua hal yang diceritakan 70%nya adalah hiperbola. Begitupun denganku awalnya aku cuma ikut2an saja tiap kali ada yang bercerita. Ng… ikut2annya tu kira2 seperti ini:
Si X : ”Aku mbiyen tau numpak bis AC neng Blitar” (Aku dulu pernah naik bis yang berAC ke Blitar)
Saya : “Ah… aku mbok tau numpak bis AC neng Jogja” (Ah… Aku juga pernah naik bis yang berAC ke Jogja)
Dan tentu saja biasanya percakapan ini diperkuat dengan statement yang jauh lebih menguatkan atau terkadang menjatuhkan seperti misalnya:
Si X : ”Aku mbiyen tau numpak bis AC neng Blitar” (Aku dulu pernah naik bis yang berAC ke Blitar)
Saya : “Ah… aku mbok tau numpak bis neng AC neng Jogja” (Ah… Aku juga pernah naik bis yang berAC ke Jogja)
Si X : “Mosok?? Enak yo adem g sumuk” (Mosok?? Enak ya, adem nggak sumuk)
Saya : “Iyo, ono WCne barang” (Iya ada WCnya juga (padahal nggak ada bis jurusan jogja semarang yang ada WCnya di dalam bis))
Si X : “Iyo”
Saya : “Wes ngono kursine apik, iso nggo turunan” (Suda gitu kursinya bagus, bisa dibuat tidur (maksudnya direbahkan))
Si X : “Iyo”
Lainnya : “Aku mbok tau” (Saya juga pernah)
Nah disini sangat terlihat siapa yang bohong siapa, dan siapa yang bohong plus hiperbola. Percakapan itu tentusaja masih berlanjut dengan penuh kebohongan dan intrik. Hingga pada saat titik paling akut aku mengeluarkan senjata pamngkasku, dan saya berkata, “Koe ndak wes do pernah numpak sepur neng Jakarta??” (kamu / kalian sudah ada yang pernah naik kereta ke Jakarta??). Obrolan itupun hening dan saya tentu saja melanjutkan cerita yang tentusaja saya tambah2i seperti kereta itu cepat, nyaman, adem, dan hal2 lain yang sangat hiperbolis yang sebenarnya itu semua adalah fiktif. Kecuali bagian nyaman dan cepat (kereta kelas bisnis waktu itu sangat nyaman tidak seperti sekarang).
Yup kereta, itulah senjata pamungkasku waktu itu. Sebab jujur sebelum obrolan itu aku mulai aku sudah mengumpulkan informasi (sepertinya bakat alami saya), dan menanyai beberapa temanku (tentu saja aku menanyainya satu2, di tempat berbeda, dan waktu berbeda) tentang naik kereta dan ternyata mereka belum ada satupun yang pernah naik kereta . Selain itu aku sadar kalau kereta merupakan alat transportasi paling elit di antara kami (padahal sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang orang dewasa, itu semua tidak benar. Kereta hanyalah sebuah alat transportasi masal), dan untungnya hanya aku yang sudah pernah dan sering sekali naik kereta PP Semarang - Jakarta. Di sini jelas terlihat posisi tawarku (apa ini??) jauh lebih tinggi. Akan tetapi, itu semua runtuh dengan tiba2 saat salah satu diantara kami berkata, “Tapi kan koe ora tau numpak pesawat?? Aku mbiyen pas kelas 2 tau numpak pesawat neng jakarta” (tapi kan kamu nggak pernah naik pesawat?? Aku dulu waktu kelas 2 pernah naik pesawat menuju jakarta). saat itu tiba2 saja posisi tawarku menjadi sangat rendah. Lenyap sudah… Setelah itu, pembicaraan mulai berganti topik dan tentu saja aku sudah menghilang sebelum topik itu berganti.
Entah apa yang aku pikirkan, tiba2 saja aku waktu itu teringat akan pesan guru agamaku yang mengatakan bahwa “Salah satu waktu paling mustajab untuk berdoa adalah pada hari jum’at”. So… tanpa pikir panjang aku langsung lari ke dalam rumah menggelar sajadah, duduk bersila, dan aku langsung berdoa yang isinya kira2 “Ya Alloh moga-moga suatu saat nanti aku bisa naik pesawat, sekali saja Ya Alloh…, Amin”. Ya sekali saja, hanya sekali cukup…!!! Tidak lebih. Oh iya tepat setelah itu aku ingat almarhumah nenek saya masuk ke kamar trus beliau berkata “Wong solat di mesjid kok doanya dirumah”.
Hari berganti hari, perlahan aku mulai melupakan kejadian hari ini. Hingga malam ini aku kembali tersadar adakah yang salah dengan diriku?? hingga aku harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, tiap saat aku ingin menyambung tali silaturahmi. Merenung kembali, aku yang dulunya nggak pernah naik pesawat tiba2 saja belakangan ini jadi sering banget naik pesawat. Adakah yang salah dengan doaku?? Dan tiba2 saja aku teringat kisah bodoh ini. Tapi mungkin karena Alloh terlalu baik kepada Alannusa kecil sehingga dia mengabulkan doaku itu… bukan hanya sekali, tapi beberapa kali.
0 comments:
Post a Comment